Tjahja Muhandri

Membuat Hidup Lebih Indah

INOVASI dan pengembangan teknologi tepat guna ditemukan demi kemudahan masyarakat saat mengonsumsi minuman tradisional dalam kemasan celup.

Berbagai jenis minuman tradisional seperti kunyit asam dan beras kencur, memang merupakan sajian nusantara yang digemari masyarakat. Minuman ini biasanya dikonsumsi masyarakat dalam bentuk siap saji, botolan maupun serbuk. Namun, masyarakat kini sudah bisa menikmati minuman tradisional itu dengan cara celup.

Mungkin banyak yang belum mengetahui sosok yang mampu menciptakan cara di balik kepraktisan menikmati mantapnya minuman tradisional itu.

Inovasi ini merupakan pengembangan salah satu dosen di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan – Fakultas Teknologi Pertanian (ITP-Fateta) sekaligus Kepala Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi atau Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (Seafast Center) IPB University, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB University), dialah Dr Tjahja Muhandri.

Akrab dipanggil Cahyo, lelaki kelahiran Ponorogo pada 1972 ini merupakan inovator yang berfokus pada pengembangan teknologi tepat guna di bidang pangan.

Berbagai invensi dan karyanya telah didaftarkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Sekurangnya ada 18 paten dan 2 Hak Cipta yang berhasil didaftarkan.

Capaian ini bahkan telah mengantarnya mendapatkan penghargaan dari IPB University sebagai Inovator Paling Produktif IPB 2019, Inventor Terproduktif Menghasilkan Kekayaan Intelektual Tahun 2020 dan PATPI Award Peringkat 1 Bidang Invensi dan Inovasi tahun 2021.

Menurut Cahyo, inovasi minuman tradisional dengan kemasan celup ini dilatarbelakangi oleh curhatan anggota Forum Coaching Clinic Industri Kecil Menengah (CCIKM) Pangan Indonesia yang ia dirikan terkait produk kunyit asam ready-to-drink.

Permintaan produk ke luar pulau Jawa menguras ongkos yang mahal, tidak sebanding dengan harga jual produknya.

“Dari sinilah tercetus ide pada tahun 2017 untuk membuat produk minuman tradisional yang dicelup seperti layaknya teh celup,” ujar Cahyo.

Awalnya produk minuman tradisional celup yang dikembangkan adalah kunyit asam lemon dengan racikan dari IKM yang didampinginya. Kesempatan pendanaan dari Science Techno Park IPB University juga dimanfaatkan untuk produk pengembangan lain seperti beras kencur celup.

Ia menjelaskan, pembuatannya terbilang sederhana. Caranya dengan mencampurkan ekstrak asam jawa dan ekstrak lemon yang dikentalkan, lalu dicampur dengan bubuk kunyit. Kemudian dicampur, dikeringkan, dan dihaluskan menjadi granul. Granul minuman tersebut dimasukan ke dalam kertas celup.

“Teknik menambahkan ekstrak asam jawa dan lemon dengan tepung kunyit ini memang terlihat sederhana, namun sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh orang lain,” lanjutnya.

Berdasarkan uji penerimaan oleh panelis, imbuhnya, minuman tradisional celup ini mendapatkan respons yang baik, terutama bagi penggemar minuman tradisional dan infused water.

“Prof Arif Satria, Rektor IPB University juga menjadi pelanggan tetap produk beras kencur celup,” ujarnya.

Demi menguji kelayakan produk ini untuk dikomersialisasikan tentu perlu dilakukan studi kelayakan. Namun menurutnya, studi ini lebih baik dilakukan oleh produsen, bukan berdasarkan asumsi semata.

Produsen harus datang langsung ke sumber bahan baku untuk memeriksa stok dan kontinuitasnya. Sekaligus melakukan riset pasar.

“Rencananya, pengembangan lanjutan dilakukan untuk menghasilkan produk minuman tradisional dengan harga jual tinggi berbentuk larutan kental atau sirup. Produk kunyit asam lemon akan dikemas dalam bentuk ready-to-serve,” lanjutnya.

Inovasi lain yang telah dikembangkan adalah instanisasi minuman tradisional dengan rasa asam. Teknologi yang digunakan adalah teknologi pembuatan minuman instan ber-pH rendah dengan metode granulasi.

Teknologi ini telah didaftarkan sebagai Paten Sederhana dan dapat diaplikasikan dengan teknologi rumah tangga sederhana oleh industri kecil.

Cahyo menyelesaikan pendidikan jenjang S1, Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, IPB University pada 1991 dan memperoleh gelar sarjana pada 1996.

Ia lalu melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Manajemen Industri, ITB, Bandung pada 1999 dan menyelesaikannya pada 2002.

Cahyo kembali ke IPB University untuk melanjutkan pendidikan jenjang S3, Program Studi Ilmu Pangan dan memperoleh gelar tertingginya pada 2012.

Langkah Cahyo semakin mantap. Berbagai invensi dan inovasinya juga telah dikomersialkan dan dikerjasamakan dengan beberapa perusahaan seperti mie jagung, tepung bumbu komposit ayam, tepung bumbu komposit tempe serta teknologi pengalengan daging skala industri rumah tangga atau UKM.

“Pengalaman itu bikin saya lanjut, malang melintang di dunia konsultan, sebagai Tenaga Ahli. Hampir semua Kementerian atau Departemen Pusat sudah saya jajagi. Mulai Bappenas, ESDM, Deptan, Dept Perhubungan, Perindag, bahkan sampai Kementerian Pemberdayaan Perempuan,” tuturnya.

Adanya berbagai macam makanan instan menjadi pilihan dalam perkembangan zaman yang menuntut kehidupan manusia makin praktis dan tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk menyajikan seporsi makanan hangat.

Lewat program implementasi inovasi yang dipadukan dengan teknologi, Kokikit.com selaku Mitra Industri, bekerja sama dengan IPB University untuk mengembangkan Nasi Instan sebagai produk terbarunya.

PT Kokikit sendiri merupakan sebuah perusahaan di bidang FnB yang menggagas konsep Chef as a Service yang menawarkan jasa pemesanan makanan dari hasil karya tim koki profesional. Produk-produk yang dihasilkan terjaga higienitasnya, lezat, bergizi dan dapat dipesan oleh konsumen dari seluruh penjuru Indonesia.

Sebelum dipasarkan, nasi instan ini melewati beberapa hasil uji coba kelayakan menurut ahli lab dari pihak IPB yang diprakarsai oleh Tjahja Muhandri.

Dalam kesempatan lain, ia juga termasuk produktif membuat beberapa buku diantaranya buku "Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan" yang diterbitkan IPB Press Bogor pada 2012.

Ia pun sempat berbagi pengalamannya dengan membuat sebuah buku kecil yang diberinya judul "Life is Beautiful".

"Life is Beautiful saya tulis untuk menjadi inspirasi bagi kawan-kawan pembaca yang mungkin sedang mengalami kondisi seperti yang pernah saya lalui, bahwa kondisi hidup harus kita jalani dengan penuh rasa syukur, penuh kebahagiaan," ungkap Cahyo.

Baginya, kebahagiaan bukan ada di materi, tetapi kebahagiaan sejati hanya bisa temukan di dalam hati.

Cahyo juga termasuk produktif dalam menulis jurnal Internasional Scopus, menjadi bagian dari Seminar Berputasi, melakukan lokakarya ataupun orkshop.

Cahyo juga dikenal berhasil menciptakan mie berbahan dasar 100 persen singkong. Mie ini bebas gluten dan memiliki indeks glikemik rendah sehingga cocok untuk yang alergi gluten (celeac disease) dan penderita diabetes.

Ia melakukan penelitian ini secara mandiri bersama kolega dosen, Dr Budi Nurtama dan mahasiswa Pascasarjana IPB University, Bella Dwi Panca.

Cahyo dan tim mampu memodifikasi tepung singkong sehingga memiliki sifat yang cocok untuk produk mie (pasta) dan mendapatkan formula yang pas untuk pembuatan mie dengan tekstur yang diterima oleh masyarakat.

“Umumnya masyarakat lebih menyukai bahan baku tepung terigu untuk membuat mie, karena tepung terigu mempunyai gluten yang tidak dimiliki oleh serealia lainnya. Gluten tersebut berperan penting dalam membuat massa adonan tepung menjadi liat dan elastis yang menyebabkan mie tidak mudah putus pada proses pencetakan dan pemasakan,” jelasnya.

Tjahja memakai teknik khusus yang berbeda dengan pembuatan mie terigu agar dapat membentuk mie yang kenyal, mendekati kekenyalan mie dari tepung terigu.

Teknik yang dilakukan di antaranya adalah dengan menggunakan alat yang memiliki tekanan dan suhu yang dapat diatur agar adonan mie dapat tergelatinisasi sehingga membentuk adonan yang kompak.

“Ini pernah kami lakukan dalam penelitian tahun 2011 dalam membuat mie yang terbuat dari 100 persen tepung jagung,” ujarnya.

Ia menyampaikan dalam pembuatan mie non terigu, termasuk pembuatan mie singkong, membutuhkan bahan baku dengan karakteristik kadar amilosa yang cukup.

“Perlu riset lebih lanjut untuk menghasilkan mie yang memiliki nilai KPAP (kehilangan padatan akibat pemasakan) dan elongasi yang sesuai dengan standar. Produk pangan yang baru seperti mie gaplek ini perlu dilakukan uji organoleptik untuk melihat tingkat kesukaan konsumen,” tandasnya. *

Tinggalkan Komentar