Pahlawan Produksi Kedelai Nasional
Sejak tahun 1992 luas areal tanam untuk kedelai di Indonesia terus mengalami penurunan. Dari luas lahan 1.67 juta hektar dengan produksi 1.87 juta ton pada tahun 1992 terjadi penurunan menjadi 0.28 hektar dengan produksi 0.42 juta ton di tahun 2019. Akibatnya, hingga sekarang Indonesia masih harus melakukan impor kedelai.
Penyusutan lahan pertanian terutama kedelai disebabkan oleh banyaknya konversi lahan di pulau Jawa. Meski begitu, lahan di area pasang surut dapat dijadikan alternatif dalam upaya pengembangan kedelai di masa depan.
Lahan Pasang surut adalah area peralihan antara sistem daratan dan sistem perairan. Di Indonesia terdapat 20.1 juta hektar lahan pasang surut yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Seluas 3.41 juta hektar diantaranya berpotensi tinggi hingga sedang untuk ditanami kedelai.
Metode penanaman kedelai di lahan rawa pasang surut ini disebut Budidaya Jenuh Air (BJA). Metode ini terbukti mampu meningkatkan produktivitas dan berhasil diterapkan pada skala pertanian.
Sosok hebat yang ada di balik temuan solutif ini adalah Prof Munif Ghulamahdi yang merupakan dosen berprestasi di IPB University. Munif telah banyak melakukan penelitian dan pengembangan di bidang pertanian. Tak heran bila IPB University menobatkannya sebagai salah satu dosen berprestasi di tingkat institusi.
Sosok ini pula yang membawa Fakultas Pertanian IPB University mencapai penghargaan di tingkat nasional bahkan hingga internasional.
Pakar ekofisiologi tanaman tersebut Munif terpilih sebagai salah satu dari 103 Inovasi Indonesia Paling Prospektif 2011 yang diselenggarakan Bussiness Inovation Center yang didukung Kementerian Riset dan Teknologi RI.
Beberapa penghargaan dan anugerah lainnya diterima Munif Ghulamahdi diantaranya Anugerah Rumah Kedelai Award dari Pemerintah Daerah Grobogan, Jawa Tengah, sebagai penemu teknologi kedelai jenih air untuk mendukung Swasembada Kedelai Nasional.
Munif Ghulamahdi dilahirkan di Batang, Jawa Tengah pada 5 Mei 1959. Munif menamatkan program sarjananya pada tahun 1982 dari Departemen Agronomi, Fakultas Pertanian IPB University di Bogor.
Gelar Master dan Doktor diperoleh dari Program Studi Agronomi, Sekolah Pascasarjana, IPB University. Gelar Master diperoleh pada tahun 1990, dan gelar doktor diperoleh pada tahun 1999. Tesis yang ditulisnya berjudul “Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr) pada Budidaya Jenuh Air” dan disertasinya berjudul “Perubahan Fisiologi Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr) pada Budidaya Tadah Hujan dan Jenuh Air”.
Karenanya, Munif siap melakukan penyuluhan, pendampingan, dan pengawasan sampai petani menguasai metode BJA yang ditemukannya ini. Manajer operasional Unit Konservasi Kebun Biofarmaka di UPT LPPM IPB University tersebut juga mengatakan apabila teknologi BJA diterapkan, penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri akan menjadi lebih efisien.
Munif juga meyakini kualitas kedelai lokal Indonesia jauh lebih baik dari kedelai impor. Selain warnanya tidak kusam, juga segar karena langsung dipanen dan diolah. Rendahnya produksi kedelai lokal disebabkan beberapa hal, di antaranya perluasan areal lahan sawah akibat konversi lahan dan persiangan komoditas lain yang sedang banyak menjadi bahan permintaan.
Walau demikian, staf pengajar di Departemen Agronomi dan Hortikultura ini mengakui produktivitas kedelai dalam negeri saat ini tidak sebanding dengan tingginya konsumsi masyarakat sehingga terpaksa diimpor. Namun dia yakin dengan inovasi yang ditemukannya, panen kedelai akan lebih baik. Tekonologi ini sudah diperkenalkan ke Kementerian Pertanian dan Staf Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan.
“Lahan pasang surut ini memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, radiasi matahari yang cukup, suhu yang baik untuk proses pembungaan, serta curah hujan juga tinggi,” paparnya.
Saat ini Munif menjadi Guru Besar Tetap Ekofisiologi Tanaman di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB University. Di Sekolah Pascasarjana IPB Munif juga pernah mengasuh mata kuliah Ekologi Tanaman Lanjutan, Topik Mutakhir Ekologi Tanaman, Metabolisme Tanaman Lanjut dan Ekofisiologi Tanaman Tropika.
Sejak tahun 1988 sampai sekarang Munif masih aktif melakukan penelitian kedelai pada Budidaya Jenuh Air (BJA) di lahan nonpasang-surut dan pasang-surut. Penelitian Kedelai BJA di lahan pasang-surut dimulai tahun 2009 hingga sekarang.
“Teknik ini merupakan teknik penanaman dengan memberikan irigasi terus menerus dan membuat tinggi muka air tetap sehingga lapisan di bawah perakaran menjadi jenuh air. Praktik budidaya jenuh air menghasilkan tanaman kedelai dengan jumlah cabang, bunga, polong isi, dan bobot biji yang lebih besar. Tanaman kedelai akan mengalami masa adaptasi selama 2-4 minggu setelah dimulainya proses penjenuhan,” terang Munif.
Berbagai hibah penelitian bergengsi pernah diperolehnya dengan posisi sebagai ketua peneliti seperti Penelitian Dosen Muda, Penelitian Dasar, Hibah Bersaing, ARMP, KNRT, KKP3 T, I-MHERE, Penelitian Unggulan Fakultas, STRANAS, BOPTN, dan Penelitian Kerjasama Luar Negeri. Pada kerjasama luar negeri Munif melakukan kerja sama dengan Kyoto University dan Melbourne University. Semua penelitian ini merupakan penelitian kedelai pada budidaya jenuh air.
Munif juga sudah memaparkan hasil penelitian kedelai BJA di berbagai seminar, konferensi, symposium dan workshop baik di dalam negeri maupun di luar negeri antara lain Jerman, Jepang, Malaysia, dan Sri Lanka.
Ia juga pernah menjadi nara sumber untuk pengembangan kedelai budidaya jenuh di Kementrian Transmigrasi dan Tenaga Kerja pada tahun 2013, dan Dewan Pertimbangan Presiden pada tahun 2016, dan saat ini dengan Kementrian Pertanian, PT Unilever, PT BLST dan Perusahaan Swasta lainnya.
Munif juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Agronomi Program Sarjana S1 dari tahun 2001–2004, dan sebagai Ketua Program Studi Agronomi Program Pascasarjana S2/S3 dari tahun 2004–2013. Saat ini menjabat sebagai Kepala Divisi Ekofisiologi Tanaman dari tahun 2013–sekarang. *