Mie Jagung, Juara Dunia Penghemat Devisa


JAGUNG merupakan salah satu komoditas yang memiliki kandungan nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia sudah digunakan sebagai makanan pokok. Terlebih produksi jagung secara nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Dalam upaya diversifikasi pangan, mie dapat dikategorikan sebagai salah satu komoditi pangan substitusi karena dapat berfungsi sebagai bahan pangan pokok.

Hal ini kemudian dijadikan acuan dengan meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan baku pembuatan mie.

Meski masih berskala laboratorium, pengembangan produksi mi jagung dilakukan IPB University sejak tahun 2008 dengan bahan baku yang berasal dari dalam negeri. Inovasi produksi mie ini diharapkan menjadi substitusi dari mie gandum yang selama ini dibuat dari terigu yang diimpor.

Dengan menggunakan bahan baku dalam negeri, produksi massal mie jagung ini berpotensi menekan beban devisa Indonesia.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mie jagung ini merupakan bahan berkualitas tinggi yaitu tepung jagung dengan ukuran granula maksimum 180 mikrometer atau lolos ayakan 80 mesh.

Selain penggunaan garam untuk meningkatkan elastisitas dan gliseril mono stearat untuk mengurangi kelengketan adonan terhadap mesin pembuatan mie.

Secara nutrisi, mi jagung memiliki kandungan lemak lebih rendah dan serat pangan yang lebih tinggi.

Melalui produk ini, pada tahun 2009 tim peneliti IPB University berhasil menjadi juara ketiga "Kompetisi Internasional dalam Pengembangan Teknologi Pangan" di Anaheim, Amerika Serikat yang diadakan oleh Institute of Food Technologist (IFT) Student Association.

Tim peneliti IPB tersebut antara lain Galih Nugroho, Ari Try Purbayanto, Riza Aris Apriady, Kamalita Pertiwi, serta Catherine Haryasyah yang saat itu mereka masih tercatat sebagai mahasiswa S1 di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.

Menurut salah satu anggota tim peneliti Kamalita Pertiwi, ide penelitian tim IPB berangkat dari tingginya angka kematian ibu hamil di Indonesia. Tim kemudian mengembangkan mi instan dari jagung instan yang dilengkapi dengan zat gizi mikro dan antioksidan yang dibutuhkan selama masa kehamilan. 

Mie instan itu, lanjut Kamalita, dipilih berdasarkan diversifikasi pangan untuk menggantikan konsumsi beras.

"Kami memilih mengembangkan jagung sebagai pilihan bahan dasar, sebab tingkat impor gandum sangat tinggi, sedangkan jagung bisa diproduksi sendiri di Indonesia," ujarnya.

Mi jagung kemudian dipublikasikan pada tahun 2010. Inovasi ini lalu masuk ke dalam Program Riset Unggulan Strategis Nasional Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia dan dinilai memiliki potensi besar untuk dikembangkan oleh Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia dalam menyaingi mi komersial berbahan baku impor.

Produk ini kemudian dinamakan Mi Kujang (Mi Kuning Jagung) yang diproduksi PT Dimmiekado Dramaga.

Teknologi pembuatan mie instan jagung secara umum terdiri dari proses pencampuran, pengukusan, pencetakan, pemotongan, dan pengeringan.

Proses produksi mie jagung berbahan baku tepung jagung 100 persen dilakukan melalui tahap pengukusan, pencampuran bahan, penggilingan adonan, pembentukan lembaran, pembentukan untaian mie, pemotongan mie dan pengukusan mie.

Hasil yang diperoleh yaitu mie dengan karakteristik reologi (elongasi, kekenyalan, kekerasan) dan cooking loss (susut masak) yang menyerupai mie terigu.

Karena itu, bagi masyarakat yang khawatir mengonsumsi mi instan di pasaran karena isu adanya zat berbahaya di dalamnya, mi jagung menjadi solusi baru yang dihadirkan.

Menurut hasil penelitian Southeast Asian Food and Agriculture Science and Technology (SEAFAST) Center Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) IPB University, mi ini dijamin sehat dan bergizi.

Mi jagung mulai masuk ke pasaran dengan harga Rp5.000 per bungkus seberat 200 gram dan bisa diolah untuk tiga porsi. Produk ini dapat ditemui di Serambi Botani, Botani Square, Bogor. Namun, makanan itu hanya bisa bertahan tiga bulan karena nonpengawet.

Staff Research and Development ITP, Deni Agustin menjelaskan, mi jagung berbeda dengan mi instan pada umumya, baik dari segi tekstur maupun rasa. Mie ini juga tak dilengkapi bumbu pada umumnya.

“Tekstur lebih kenyal dan sangat terasa jagungnya,” jelas Deni.

Ini karena, gluten gandum memiliki sifat elastis sehingga adonan dan tali-tali mie tidak mudah putus selama proses pengolahan.

Lebih lanjut Deni memaparkan, mie jagung mempunyai kelebihan, seperti warna kuning alami dan aroma rasa yang khas.

Ini karena warna kuning mie berasal dari pigmen kuning pada jagung. Sedangkan warna kuning pada mie terigu menggunakan bahan pewarna makanan tetrazine.

“Mie jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk pangan lainnya. Mie jagung mengandung nilai gizi sekitar 360 kalori atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori) dan ubi jalar (178 kalori). Selain itu, warna kuning pada jagung yaitu β-karoten, lutein dan zeaxanthin,” jelasnya.

Mie ini juga dapat dikonsumsi para penderita autis serta hipersensitif pada protein terigu. Namun, kadar karbohidrat kompleksnya tinggi seperti nasi.

“Ini solusi mi sehat tanpa pengawet. Sehingga, aman dikonsumsi, dapat diolah sesuai keinginan dan rasanya berbeda-beda. Tergantung selera penikmatnya,” pungkasnya

Prestasi tim peneliti IPB University yang berhasil menempatkan mi jagung sebagai juara ketiga dalam kompetisi dunia ini layak mendapatkan perhatian lebih karena kontribusinya bagi perkembangan teknologi pangan di Indonesia.

Tantangan pengembangan mie jagung ini adalah perlunya jaminan pasokan bahan baku jagung yang kontinyu, perlu adanya industri yang memproduksi tepung jagung sebagai bahan baku untuk industri mie jagung serta memperkenalkan mie jagung pada masyarakat.

Pengembangan mi jagung berbahan baku jagung oleh IPB University terus dilakukan pada tahun 2014.

Hasilnya penelitian mi jagung berikutnya dipastikan mie jagung memiliki kandungan serat yang lebih tinggi dan indeks glikemik yang lebih rendah dibandingkan dengan mi konvensional yang menggunakan tepung terigu.

Sejak itu, IPB University terus melakukan pengembangan dan penelitian terkait mi jagung untuk meningkatkan keberlanjutan pangan, meningkatkan nilai tambah bagi jagung, serta memberikan alternatif pangan yang lebih sehat dan bergizi kepada masyarakat. *

Tinggalkan Komentar