Pejuang Tempe, Pembela Super Food
Pada masa revolusi kata 'tempe' memang kerap diidentikkan dengan hal-hal negatif, seperti cengeng, mudah menyerah atau lembek. Paradigma lama itu kini tidak berlaku lagi.
Sekarang secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa tempe memiliki kandungan gizi yang luar biasa serta ramah lingkungan dengan harga yang jauh lebih terjangkau. Selain itu, tempe kaya akan komponen bioaktif khas yaitu isoflavon yang berfungsi antioksidan hingga anti kanker.
Kita mungkin lupa atau sengaja melupakan bahwa tempe merupakan makanan yang bernilai gizi tinggi. Tempe merupakan makanan dengan kandungan protein yang sangat dibutuhkan untuk tubuh manusia. Tetapi, sebenarnya kita tahu bahwa kita memiliki kualitas dibalik kesederhanaan yang terlihat dari makanan tempe.
Melihat manfaat kesehatan yang dapat diberikan tempe, seharusnya istilah “tempe” ini bisa berevolusi menjadi sesuatu yang positif. Karena itu pula, kini tempe disebut-sebut sebagai Super Food.
Tempe merupakan salah satu makanan asli Indonesia, terbuat dari kedelai yang difermentasi menggunakan beberapa jenis kapang seperti Rhizopus oligosporus, R. oryzae, R. stolonifer atau R. arrizhus. Sediaan fermentasi kedelai tersebut kemudian dapat digunakan untuk membentuk ragi tempe.
Menurut kitab Serat Centhini, tempe telah eksis di Indonesia sejak abad ke 16 yang digunakan sebagai makanan utama di keraton. Menurut bukti sejarah, tempe pertama kali dibuat di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan biasa dikonsumsi sekitar tahun 1600-1700. Di era modern ini, tempe hadir dengan berbagai olahan di dapur masyarakat dan industri pangan di Indonesia sebagai makanan khas.
Meski begitu, salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam memproduksi tempe adalah perbaikan kualitas baik dari segi teknik maupun kebersihan. Cara kolaboratif yang dapat dilakukan adalah dukungan dari berbagai pihak yaitu pemerintah, produsen tempe, produsen kedelai, institusi riset pangan, dan industri pangan.
Pemikiran itu disampaikan Made Astawan, Ketua The Indonesia Tempe Forum (ITF) yang bergerak bersama Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan) Indonesia memperjuangkan tempe sebagai warisan budaya non benda atau intangible cultural heritage of humanity (ICHH) yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Melalui cara kolaboratif ini diharapkan konsumsi tempe terutama bagi generasi muda semakin meningkat, layaknya mengenakan pakaian batik dalam berbagai acara. Sekaligus agar menguatkan pengakuan tempe oleh UNESCO sebagai warisan budaya bangsa Indonesia yang mendunia, mengingat sejarahnya pada waktu lampau dan nilai serta gizi dari tempe itu sendiri.
Made Astawan menjelaskan, pihaknya menginisiasi agar tempe diakui sebagai warisan budaya Indonesia pada 2014 dan dilanjutkan dengan pengumpulan data awal. Pada 2016, pengumpulan
dokumen masuk tahap akhir dan akan disampaikan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 2017, pihaknya mulai mengajukan ke UNESCO dan dokumen itu diharapkan diterima UNESCO pada 2018.
“Bila Jepang sangat bangga dengan natto dan miso, Indonesia harus bangga dengan tempe. Karena bila tempe dibandingkan natto dan miso, hampir setara,” jelas Astawan.
Made Astawan memang menaruh perhatian besar kepada tempe sebagai pangan fungsional dan bernilai strategis. Lulus sebagai sarjana pertanian, Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, IPB University tahun 1985. Lalu sejak 1986, ia bekerja sebagai staf pengajar dan peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Dengan bantuan beasiswa Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 1990 dia memperoleh gelar Magister Sains dalam bidang Ilmu Pangan dari Program Pascasarjana IPB University.
Selanjutnya, dengan beasiswa dari Pemerintah Jepang (Monbusho), tahun 1995 ia berhasil memperoleh gelar doktor (Ph.D.) dalam bidang Food Chemistry and Nutrition dari Tokyo University of Agriculture, Jepang.
Sejak tangggal 1 Mei 200, Made Astawan ditetapkan sebagai Guru Besar bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB. Made Astawan juga dikenal sebagai salah satu ahli Teknologi Pangan dan Gizi di Indonesia. Ia juga menjadi dosen tamu di berbagai universitas di Indonesia dan Asia. Made juga aktif di Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (Indonesian Association of Food Technologists).
Pekerjaan lain yang ditekuni Astawan adalah menjadi konsultan dan penulis. Banyak buku yang telah diterbitkan lelaki kelahiran di Singaraja, Bali, 2 Februari 1962 ini, baik yang ditulis sendiri
maupun bersama penulis lainnya, diantaranya “Enak Sehat Dengan Makanan Tradisional”, “Jangan Takut Makan Enak: Petik Manfaat Semua Makanan dan Minuman”,“ Khasiat Warna-warni Makanan” hingga “Healthy Spice & Spice Kitchen”.
Astawan juga juga aktif menulis berbagai artikel ilmiah populer dan menjadi narasumber tentang pangan, gizi, dan kesehatan di berbagai media massa cetak dan elektronik hingga seminar dan simposium nasional dan internasional.
Ia juga merupakan salah satu ilmuwan Indonesia yang berhasil menyusun peta kimia tempe di Osaka University. Temuan ini diharapkan dapat mendorong pengembangan gizi superfood tempe.
Melalui studi metabolomik bersama Dr Sastia Prama Putri serta Prof Eiichiro Fukusaki dari Osaka University dan juga Della, Astawan berhasil memetakan 83 senyawa metabolit yang terkandung di dalam superfood tempe.
“Beberapa senyawa yang menarik dari hasil analisa menggunakan GC-MS adalah asam amino esensial seperti Histidine dan lisin yang merupakan asam amino penting untuk perkembangan anak dan 3,4-Dihydroxy benzoate yang merupakan salah satu senyawa polyphenol yang berfungsi sebagai antioksidan penting untuk kesehatan," jelasnya. ***