Jalan Senyap Manusia Penjaga Hutan
Menjaga hutan dan menyelamatkan orangutan demi kehidupan manusia adalah alasan utama Jamartin Sihite untuk memilih jalan yang ditepuhnya. Masa lalunya sebagai dosen, rela dia tinggalkan demi mengurus satwa langka seperti komodo dan orangutan.
Meski begitu, ia selalu enggan disebut tokoh inspiratif. Laki-laki berdarah Batak ini lebih nyaman dikenal sebagai manusia penjaga hutan. “Saya lebih nyaman berada di jalan sepi. Senyap tak terlihat, tapi selamat. Selamat yang saya maksud adalah hutan yang selamat dan manusia yang juga ikut selamat,” kata dia.
Berawal dari rasa ibanya melihat orangutan yatim piatu yang masih bayi, Jamartin terpanggil menyelamatkan primata yang memiliki DNA mendekati manusia itu.
“Waktu itu saya gendong bayi orangutan yatim piatu di Sumatera. Tidak sengaja, kami bertatapan mata, hati saya langsung meringis. Seperti apa satwa ini jika dilepas sendirian ke hutan? Bagaimana dia bisa bertahan melawan pemangsa. Nyaris saya menangis, kemudian saya berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk dia.”
Bagi Jamartin Sihite, bekerja di bidang konservasi alam dan lingkungan merupakan sesuatu yang sangat wajar. Semenjak kanak-kanak, Sihite kecil sudah percaya bahwa manusia harus berbuat sesuatu bagi lingkungan yang telah dirusaknya dan bahwa manusia memang menggantungkan hidupnya pada alam. Tanpa hutan, manusia tak lagi dapat bernapas seperti saat ini, menghirup udara bersih.
Sejak mengabdikan diri untuk penyelamatan orangutan Kalimantan, bapak tiga anak ini terus berupaya mengajak semua orang untuk menjaga hutan.
“Mungkin masih banyak yang belum sadar, betapa kita membutuhkan hutan. Setiap orang memiliki sudut pandang berbeda, bagi yang tahu dan mampu mari kita jaga bersama,” imbuhnya.
Lulus dari SMA Negeri 2 Pematang Siantar, Sihite melanjutkan pendidikan tinggi di jurusan Konservasi Tanah di IPB University dan menamatkannya pada 1989. Ia lalu bekerja pada berbagai proyek sebagai ahli ekologi atau sebagai ilmuwan lingkungan bagi beberapa organisasi termasuk WWF Indonesia dan WCS. Pada saat yang sama ia juga meneruskan pendidikannya hingga meraih gelar PhD dalam ilmu lingkungan pada tahun 2004.
Sembari mengejar gelar PhD, ia mengajar pada Fakultas Arsitektur Lansekap di Universitas Trisakti Jakarta, dan menduduki berbagai posisi, termasuk sebagai team leader, wakil direktur konservasi komodo dan kemudian sebagai Senior Marine Advisor pada Nature Conservancy.
Secara profesional, perkenalannya dengan orangutan yang kemudian mendominasi kariernya, terjadi ketika ia bekerja sebagai wakil Chief of Party dalam proyek USAID-OCSP (Orangutan Conservation Services Program) tahun 2007-2010.
“Beberapa orang pernah bertanya, kenapa saya meminjam hutan kecil pada pengusaha sawit. Saya jawab, saya tidak peduli dengan masa lalu orang. Yang saya butuhkan adalah hutan, untuk pelepasliaran orangutan. Dengan memberi hutan pada orangutan, itu akan menjadi kebaikan besar untuk setiap manusia,” ungkap suami dari Jacqueline 'Ecky' Hutagaol ini.
Ia kemudian meneruskan persinggungannya dengan kera besar ini dengan menjadi Presiden Direktur pada Oktober 2010 di PT. Restoration Habitat Orangutan Indonesia (RHOI), sebuah perusahan bentukan BOS Foundation untuk memperoleh hak konsesi atas ekosistem bagi rehabilitasi dan pelepasan orangutan yang telah mampu bertahan di alam liar. Selang satu tahun kemudian menjadi CEO BOS Foundation hingga kini.
Sebelum memutuskan bergabung BOSF, Jamartin lebih dulu berada di Pulau Komodo. Fokus menjaga Komodo. Dia juga pernah bergabung bersama The Nature Conservancy [TNC]. Puluhan tahun lalu lalang di dunia konservasi, hati Jamartin pun tertambat pada orangutan, meski kejadiannya tidak sengaja.
Pada tanggal 16 Desember 1998, Balikpapan Orangutan Society (BOS) secara hukum disahkan sebagai yayasan di Indonesia dengan tujuan memerangi kepunahan dan melestarikan orangutan dan habitatnya di Kalimantan, bersama dengan masyarakat setempat, pemerintah Indonesia, dan masyarakat global.
Pada 2003, nama organisasi secara resmi diubah menjadi Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) atau Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo.
Selama sepuluh tahun pertamanya, BOS sudah menyelamatkan dan melepaskan kembali ke alam liar sebanyak sekitar 400 individu orangutan. Mereka dilepaskan kembal di kawasan hutan lindung Gunung Seratus dan Sungai Wain di Kalimantan Timur.
Tak selalu mulus, pada tahun 2002, BOS pernah terpaksa menghentikan program pelepasan kembali orangutan ke alam liar karena tidak tersedianya hutan yang seusai untuk melepaskan kera besar ini.
Di bawah pimpinan Sihite, yang kemudian menjadi CEO Bos Foundation di tahun 2011, yayasan tersebut berhasil mendapatkan konsesi seluas 86.400 hektare di hutan Kehje Sewen di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Hal ini kemudian memungkinkan program pelepasan orangutan ke alam liar kembali dapat berjalan pada tahun 2012.
Selama menjabat CEO Yayasan BOS, Jamartin pernah mengalami stroke. Nyaris lumpuh dan tidak bisa bicara. “Saya berusaha sembuh dengan semangat keluarga, terutama istri dan anak-anak. Saya sembuh dan artinya Tuhan masih percaya saya mengurus orangutan,” ungkapnya.
Setelah sembuh total, Jamartin kembali menyusuri hutan jalan kaki. Dia juga kerap ikut melakukan pelepasliaran orangutan.
“Impian saya, semua kandang di BOSF kosong dan kita hancurkan. Saya mau semua penghuninya bebas di alam liar. Karena rumah orangutan yang hutan, bukan kandang di pusat penyelamatan,” katanya.
Saat mengalami krisis pasca-pandemi COVID-19, Jamartin pernah memutuskan menjual aset jika kebutuhan orangutan tidak tercukupi. Dia bahkan menutup sementara pusat rehabilitasi orangutan BOSF satu tahun dari pihak luar. Alasannya, jangan ada orangutan tertular corona dari manusia.
Beragam cara dan upaya memang dia tempuh untuk mendapatkan uang. Dia bahkan harus terbang ke luar negeri untuk meyakinkan setiap orang bahwa nasib orangutan di Kalimantan nyaris punah. Beruntung, ada yang membantu, jadi donor.
“Semula memang sangat berat, tapi kami kerjakan satu-satu. Saya berpesan pada semua teman-teman di BOSF, kita pelan-pelan saja, yang penting usaha dan doa. Setelahnya Tuhan yang atur. Terbukti, kami bisa menyewa satu hutan di pedalaman Kutai Timur, Kalimantan Timur,” ungkapnya.
Orangutan yang dilepaskan umumnya telah menjalani proses rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi milik BOS Foundation di Samboja Lestari, Kalimantan Timur selama paling tidak tujuh tahun.
BOS Foundation kemudian juga berangsur-angsur mendapatkan hutan tambahan kembali, termasuk di Bukit Batikap di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah dan mulai 2016, diperoleh kawasan baru di Taman Nasional Bukit Baka and Bukit Raya di Katingan, Kalimantan Tengah.
“Sebanyak 301 orangutan kini telah dilepaskan di daerah-daerah baru ini. Dengan pelepasan terakhir ini, sudah lebih dari 2.200 orangutan yang dilepaskan ke alam oleh BOS Foundation semenjak berdirinya di tahun 1991,” terang doktor Ilmu Lingkungan, IPB University ini.
Secara keseluruhan, BOS Foundation kini mengelola hutan seluas sekitar 500.000 hektare dan menjalankan dua pusat rehabilitasi orangutan, satu di Nyaru Menteng di Kalimantan Tengah dan satunya lagi di Samboja Leste di Kalimantan Timur.
Berbagai kerjasama pun dilakukan oleh Jamartin dengan berbagai pihak demi mempertahankan kehidupan orangutan. Termasuk dengan IPB University.
Ditandatangani oleh Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Sistem Informasi, Dodik Ridho Nurrochmat dengan Chief Executive Officer BOSF, Jamartin Sihite, kerjasama dijalankan dalam hal pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat serta pelestarian orangutan
Melalui kerjasama ini diharapkan membawa banyak inovasi baru dalam upaya menyelamatkan habitat dan genetik ratusan orangutan agar terhindar dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dan kepunahan orangutan di Indonesia
Jamartin Sihite, sosok yang konsiten mendedikasikan tenaga dan pikirannya untuk kehidupan orangutan di Kalimantan. Pantas saja jika tahun 2019, Jamartin meraih penghargaan ‘Virginia Mckenna Award 2019’ atas dedikasinya merawat dan melepasliarkan orangutan.
Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival Foundation) juga pernah menerima penghargaan internasional atas dedikasi dan komitmennya dalam upaya menyelamatkan orangutan di Kalimantan dan habitatnya.
Dalam sebuah acara yang diselenggarakan di Throne Room di Hofburg Palace, Wina, kantor sekaligus kediaman Presiden Austria, CEO Yayasan BOS Jamartin Sihite dan Deputy CEO Jacqueline Sunderland-Groves, menerima penghargaan Animalis Edition di ajang yang bernama World Branding Award.
Animalis Edition adalah penghargaan internasional tertinggi yang diberikan atas pilihan satu dewan penasihat yang terdiri dari sejumlah tokoh ternama dalam dunia perawatan dan kesejahteraan satwa serta konservasi.
“Kami sangat tersanjung dapat menerima penghargaan ini, sebagai pengakuan atas kerja keras dan komitmen kami dalam melestarikan orangutan di Kalimantan selama 25 tahun terakhir. Selama itu, kami telah menghadapi berbagai ragam masalah dan setiap pengalaman tersebut memberikan kami pelajaran berarti,” ujar lelaki kelahiran Siantar, 21 Agustus 1965.
Meski begitu, ia tak mau jumawa dan selalu rendah hati. “Penghargaan tidak bisa diraih sendiri. BOSF sendiri memiliki orang-orang hebat, saya sangat bangga dengan semua pencapaian kawan-kawan. Tidak hanya di Samboja, juga PT. RHOI dan Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah,” ungkapnya.
Jamartin memang terlahir dari keluarga agamis. Bapak dan ibunya pendeta. Jamartin sadar betul, betapa sang bapak ingin melihatnya menjadi tokoh agama juga. Namun, bagi Jamartin, jalan menuju surga tidak hanya melalui pelayanan di rumah ibadah saja. Masih banyak jalan kebaikan yang bisa dia lakukan dan bermanfaat untuk orang banyak, salah satunya, menjadi penyelamat satwa langka.
“Menjaga hutan dan menyelamatkan satwa langka adalah ungkapan sekaligus ucapan terima kasih saya kepada Tuhan. Buat saya, pekerjaan ini sangat mulia. Jangan pikir kita bisa terkenal, jika memutuskan mengambil langkah ini,” ungkapnya. ***