Fitriya Nur Annisa Dewi

Penelitian itu Seru dan Menyenangkan

Di mata Pipit, penilaian soal kehidupan penelitian itu membosankan, adalah anggapan yang usang. Bagi perempuan bernama lengkap Fitriya Nur Annisa Dewi ini, kehidupan peneliti itu sangat berwarna, seru dan menyenangkan.

“Seru sekali, setiap hari saya belajar hal baru, dituntut untuk selalu kritis,” kata perempuan yang sejak kuliah sudah memiliki passion menjadi peneliti ini.

Buat Fitriya, menjadi peneliti adalah profesi yang menyenangkan. “Jadi peneliti itu fun kalau punya passion dan keingintahuan yang tinggi. We have to love what we do. Apa pun pekerjaannya jika dilakukan dengan tulus dan sepenuh hati, bawaannya jadi senang dan optimal. Tentu harus tahu dulu, mau apa nih?” sahutnya.

Fitriya tak pernah protes bahwa profesi yang digelutinya jauh dari publikasi dan kadang masih dipandang sebelah mata.

“Perempuan peneliti muda Indonesia menurut saya sudah banyak. Kalaupun tidak mendapatkan sorotan, ya, mungkin semua sudah memaklumi. Justru itu menjadi motivasi untuk lebih baik,” ujar perempuan kelahiran Jakarta, 25 Juni 1982 ini.

Tak heran kecintaannya pada penelitian membawa Fitriya pada kesuksesan. Berkat penelitiannya, ia meraih penghargaan National Fellowship L'Oreal-UNESCO For Women in Science (FWIS) 2014 dalam kategori Life Science.

Kala itu, penelitiannya mengenai pengaruh kaempferol dari daun katuk untuk potensi pencegahan kanker pada sel epitel kelenjar susu, mengantarkan suksesnya. Namanya pun ikut mencuat sejak menemukan obat anti kanker payudara berbahan dasar daun katuk.

Anugerah bidang Life Science itu dinilai sangat penting, karena penghargaan ini juga berdimensi untuk kepentingan kemanusiaan, berbasis sumber daya alam di Indonesia dan berpotensi meningkatkan kualitas hidup manusia dalam bidang kesehatan dan kehidupan berkelanjutan.

Sebagai perempuan, Fitriya menceritakan penelitian itu didorong karena sangat peduli terhadap semua masalah kesehatan yang dialami wanita. Karenanya, tak lama setelah itu ia pun mendapat penghargaan Her World Women of The Year 2016.

“Saya hanya ingin mencari pencegahannya saja. Kanker payudara masih menjadi momok perempuan di Indonesia, nomor dua tertinggi setelah kanker serviks. Oh ya, kanker payudara menjadi penyebab kematian tertinggi juga. Lewat bidang yang saya kuasai, saya ingin berbuat sesuatu, apa yang bisa dicegah atau bisa dikontribusikan.”

Fitriya semakin tertarik saat studi literatur dan melihat statistik bahwa kanker payudara di negara-negara di Asia jauh lebih rendah dari negara Barat, tapi trennya sudah mulai meningkat.

“Kalau trennya meningkat apa yang bisa dilakukan untuk mencegah. Do something lah,” ucap istri Fajar Solihin seraya mengatakan latar belakang penelitiannya tak berhubungan dengan pengalaman pribadi atau keluarga.

Fitriya juga pernah mewakili Indonesia sebagai finalis US- ASEAN Science Prize for Women 2017, sebuah ajang penghargaan untuk memperkuat kapasitas sains dan teknologi ASEAN serta kesetaraan dan peningkatan gender melalui penghargaan tahunan untuk wanita. Dr. Fitriya terpilih karena penelitiannya yang luar biasa tentang dampak urbanisasi cepat terhadap kesehatan masyarakat.

Pipit, begitu ia biasa disapa, kini bekerja sebagai Kepala Program Biomedis di Pusat Studi Satwa Primata IPB University. Ia menyelesaikan gelar sarjana Kedokteran Hewan di IPB University pada 2006. Kemudian pada 2007 ia mengambil pendidikan profesi Dokter Hewan di IPB University dan melengkapi gelar Ph.D di Wake Forest University, Amerika dan lulus pada 2013.

Menjadi peneliti tak lantas membuat Fitriya mengabaikan hal lain dalam hidupnya. “Kalau dibilang menghabiskan waktu terbanyak di laboratorium, ya, benar. Tapi pintar-pintar juga mengatur waktu untuk bersosialisasi. Masih bisa kumpul sama teman-teman untuk review tempat makanan baru, masih bisa kumpul keluarga kok,” katanya sambil tertawa.

Menurut Fitriya, menjadi seorang peneliti tak lepas dari inspirasi sang bunda. “Ya, ibu saya, drh. Wiwiek Bagja yang berpengaruh dalam hidup saya. Kami memang sama-sama dokter hewan, tetapi kami berdua mendalami bidang yang berbeda,” cerita Fitriya.

Penyayang binatang ini sejak kecil bercita-cita menjadi dokter hewan. Baginya, profesi dokter hewan tidak hanya mengobati binatang peliharaan. Etika dan sisi kemanusiaan juga harus jadi nilai yang dikedepankan.

“Saya menggeluti bidang ini agar penggunaan hewan dalam penelitian dilakukan secara etis di tangan dokter yang menyayangi mereka, serta ingin memanfaatkan bahan alami untuk meningkatkan kesehatan terutama para perempuan,” jelas perempuan yang juga dosen Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB) IPB University ini.

Saat nenek moyang mewariskan penggunaan tanaman Indonesia sebagai pengobatan, termasuk daun katuk yang memiliki manfaat untuk ASI, Fitriya meyakini ada manfaat lain untuk payudara.

“Dari situ saya meneliti bagaimana potensinya untuk menyembuhkan atau mencegah kanker payudara. Dari tahun 2009 hingga saat ini, saya dan tim juga meneliti potensi kedelai dan tanaman lain untuk kanker payudara,” tuturnya.

Bukan tanpa kendala, proses penelitian juga punya tantangan tersendiri.

“Kalau secara personal, membagi waktu cukup sulit. Banyak hal yang harus dikerjakan dalam waktu yang sempit apalagi sesuatu yang sangat disuka. Beruntungnya, saya memiliki keluarga dan tim yang sangat suportif,” tegas Fitriya. ***

Tinggalkan Komentar