Emmy Hafild

Lebih dari 30 Tahun Mengabdi untuk Lingkungan

Direktur WALHI Periode 1996-1999 Alumni IPB University Angkatan : Lulus Tahun 1982 Jurusan/Fakultas : AGH/FAPERTA-S1

Bernama lengkap Nurul Almy Hafild atau yang akrab disapa Emmy Hafild berasal dari Pertumbukan, salah satu kota di Sumatera Utara. Wanita kelahiran 3 April 1958 ini telah mengeyam lebih dari 30 tahun pengalaman dalam gerakan lingkungan, hingga majalah Time menganugerahkannya gelar “Pahlawan Planet” pada tahun 1999.

Puluhan tahun mengabdi pada dunia lingkungan, kabar duka datang dari Alumni IPB University lulusan Agronomi ini. Pada Sabtu, 3 Juli 2021, pukul 21.17 di Rumah Sakit Pondok Indah, Emmy Hafild menghembuskan nafas terakhirnya. Kabar ini telah dikonfirmasikan oleh keluarganya. “Ibu sudah sakit dan menderita kanker sejak 2018,” tutur putrinya.

Lulus dari IPB University pada tahun 1982, Emmy memulai karirnya di Sekretariat Kerjasama Konservasi Hutan (Skephi) Pada tahun 1982. Emmy menerima beasiswa Fulbright untuk belajar Master of Science dalam Studi Lingkungan di University of Wisconsin pada tahun 1994. Dia adalah Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) serta Forum Lingkungan Hidup Indonesia dari tahun 1996 sampai 2001.

Emmy menginjakan kakinya di IPB University saat kampus sedang melawan rezim orde baru. Yang mana saat itu membuat emmy berkenalan dengan aktivis kampus IPB, ia vokal terhadap Soeharto. Momen ini membuat Emmy menjadi orang yang berani, bersuara lantang, dan tidak segan berdebat mengenai keadilan lingkungan.

Dia juga merupakan co-founder dan Direktur Eksekutif Transparency International Indonesia (TII), sebuah organisasi anti-korupsi yang berbasis di Jakarta, selama tiga tahun. Emmy juga pernah menjadi Direktur Ekselutif Greenpeace Asia Tenggara. Saat ini, Emmy memegang posisi sebagai Direktur Eksekutif Yayasan Komodo Kita.

Meski sejak 2015, ia memilih keluar dari Greenpeace meski telah menduduki jabatan penting, namun kepeduliannya terhadap lingkungan tak pernah berhenti. Ia senantiasa mengajak semua pihak untuk peduli akan lingkungan sekitarnya. Jiwa perlawanannya terhadap ketidakadilan yang merugikan alam dan masyarakat rela mengorbankan posisinya di Greenpeace dulu.

“Lega rasanya, saya memutuskan untuk berhenti menjadi supporter Greenpeace Indonesia. Karena saya kecewa dan marah dengan strategi constructive engagement Greenpeace dengan perusahaan besar (Sinar Mas, APRIL, APP dan WILMAR) yang terlibat dalam kebakaran lahan gambut,” tulis Emmy Hafild di akun media sosialnya.

Lulusan Agronomi IPB University dan Universitas Wisconsin, AS, dalam bidang Ilmu Lingkungan pada tahun 1994 ini memutuskan total di dunia aktivis lingkungan sejak lulus dari IPB, saat umurnya menginjak 24 tahun. Ia masuk di Yayasan Indonesia Hijau selama 2 tahun berkarir. Karirnya di lembaga swadaya masyarakat melesat cepat, ia masuk ke Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Ia menjadi Direktur WALHI selama dua periode.

Pada tahun 1998 saat masih tergabung dalam WALHI, ia juga terlibat dalam pembentukan gabungan LSM Antikorupsi. Ia juga tercatat pernah melawan Presiden Soeharto. Ia mendapat perhatian dari AS dan menjadi orang asing pertama yang beraksi di depan Senat urusan dana bantuan luar negeri dan lingkungan.

Pada pertengah 1990, sosok Emmy dimuat di majalah Times bersama aktivis lingkungan dunia sebagai Hero of the Planet. Menjelang akhir orde baru, WALAHI bersama Fordem, LBH, dan beberapa eksponen giat mendorong proses demokrasi dan reformasi di Indonesia.

Saat ia masih di IPB University, ia bergabung dengan Lawalata (Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam IPB). Menurut Ucok, teman semasa kuliahnya di IPB Univeristy, Elmy selalu menunjukan kemauan yang kuat untuk bisa mencapai sesuatu. Sewaktu ia sempat kehilangan kacamatanya saat ujian cross country dari Gunung Bunder ke kampus IPB Baranangsiang, ia tetap menyelesaikan perjalanan ujiannya dan tidak menyerah.

Menurut Ucok, Elmy adalah seorang aktivis yang selalu dipandang pendapatnya. Ia juga dikenal sebagai orang yang bicara apa adanya, dan jujur.

Menurut keterangan tetangganya, Elmy benar-benar sosok yang tidak pandang bulu untuk berdebat. Salah satunya dengan Erna Witoelar yang merupakan mentornya sendiri. Meskipun begitu Emmy dikenang sebagai sosok yang baik.

“Di penghujung kehidupannya Emmy memberikan pelajaran penting kepada kita, yakni perjuangan keadilan lingkungan harus merupakan aksi kolektif melintasi batas-batas identitas suku, agama, ras, dan golongan!” tutur Chalid Muhammad, mantan Direktur Eksekutif WALHI. “Sampai detik-detik terakhir mengikuti perjuangan Emmy, dia tidak mau menyerah.   Fighting spirit nya luar biasa. Sampai akhirnya Allah yang Maha Pengasih yang mengakhiri kesakitan Emmy. Innillahi wa inna illaihi rojiun. Selamat jalan pejuang,” tutur Ucok NA, teman semasa kuliahnya.(*)

Tinggalkan Komentar