Taksonom Indonesia untuk Dunia
Ada banyak hal yang membuat orang jatuh cinta kepada laut. Tidak terkecuali bagi Dwi Listyo Rahayu. Deru debur ombak yang menenangkan, hembusan angin pesisir yang membuai, hingga semburat mentari senja yang menghanyutkan.
Peneliti Utama bidang taksonomi ini, selalu betah menghabiskan waktu sore harinya sekedar menikmati matahari terbenam dari luar jendela tempat ia bekerja. Ruangan kerjanya tepat menghadap ke arah laut.
Laut jugalah yang sampai saat ini memupuk rasa cintanya terhadap penelitian di bidang biologi kelautan. “Air laut lagi surut nih, saya udah bawa sepatu,” tuturnya. Biasanya ia akan jalan-jalan di pinggir pantai sembari sesekali mengorek batu atau pasir untuk mendapatkan spesimen yang nanti diteliti.
Sedari kecil Dwi Listyo Rahayu akrab dengan laut. Beranjak kuliah di IPB Universitu Jurusan Perikanan pun berhubungan dengan laut karena praktikum-praktikumnya seringkali di laut. “Semakinlah saya suka laut,” katanya.
Selepas lulus dari IPB University, ia melanjutkan studi di Paris hingga jenjang Doktoral. Ia melamar dan diterima menjadi staf peneliti di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI pada tahun 1982. Karir penelitiannya terus menanjak dari mulai Ajun Peneliti Muda hingga sekarang sebagai Profesor Riset. “Jadi saya masuk ke Pusat Penelitian Oseanografi minta ditempatkan di Ambon,” kenangnya.
Pilihan Yoyo – begitu ia akrab disapa, untuk berkarir sebagai peneliti LIPI mempertemukannya dengan senior sekaligus mentor risetnya saat itu, Dr. Kasim Moosa. Dari beliaulah, dirinya mengaku mengenal, belajar, dan tertarik dengan dunia taksonomi khususnya morfologi.
Minatnya terhadap riset taksonomi kian membuncah ketika ia ikut serta dalam Ekspedisi Snellius II pada Tahun 1984. Ekspedisi tersebut mengangkat 5 tema penelitian: geologi dan geofisika, terumbu karang, vetilasi lubuk laut dalam, sistem pelagis, dan dampak sungai terhadap lingkungan laut.
Pada ekspedisi inilah ia banyak berkenalan dengan para taksonom senior dari berbagai belahan dunia. “Setiap hari yang diomongin kan taksonomi terus aja. Morfologi semuanya. Lama-lama loh kok menarik sekali. Okelah saya niatkan mau mengerjakan ini,” ungkapnya.
Selepas Ekspedisi Snellius II, Yoyo melanjutkan studi S2 dan S3 di Université Pierre & Marie Curie, Paris VI. Paris, Perancis melalui beasiswa Overseas Fellowship Program (OFP) yang dicetuskan oleh Presiden Indonesia ketiga BJ Habibie.
Paris menjadi tujuannya karena pada saat itu Natural Museum of Natural History Paris adalah salah satu pusat studi krustasea terbaik. “Saya ingin mengerjakan krustasea dan yang banyak orang krustasea itu di Paris,” tuturnya.
Kendati demikian, ia justru ditawari untuk meneliti kelomang. Pilihan yang kemudian membawa dirinya sebagai satu-satunya taksonom kelomang di Indonesia dan satu diantara lima taksonom kelomang di dunia.
Bagi Dwi, bidang yang dia geluti sekaligus menjadi cara untuk menunjukkan rasa nasionalisme. Pasalnya, dia bisa mengatakan kepada dunia bahwa Indonesia punya kekayaan biota laut, yakni kelomang.
Kelomang dan kepiting memiliki peranan penting dalam ekosistem kita. Kelomang memakan semuanya; mulai dari makroalga, kerang, sampai potongan hewan yang mati. Yoyo mengistilahkannya sebagai hewan pembersih.
Hingga saat ini Yoyo sudah berhasil mendeskripsikan 4 genus dan 74 spesies baru kelomang dan 6 genus serta 76 spesies baru kepiting. Ia memperkirakan Indonesia memiliki kurang lebih 200-300 spesies kelomang.
Sepanjang kariernya, perempuan kelahiran Mojokerto 31 Juli 1957 ini, telah mendeskripsikan banyak jenis baru, yakni new genus dan new species dari perairan Indonesia dan perairan lain di Indo Pacific.
Yoyo juga aktif terlibat dalam penulisan artikel ilmiah. Total ada 89 artikel ilmiah yang telah dipublikasikan. Ia meneliti kelomang dari berbagai perairan pesisir di Indonesia sejak 1988. Terlibat dalam inventarisasi biota laut perairan Maluku Utara, Maluku Tenggara, Timor Timur, Kalimantan (Pulau Derawan dan sekitarnya), Bali dan Lombok dari Tahun 1993-1998.
Pernah pula meneliti kelomang di perairan Selat Malaka, Johor dan Singapura. Risetnya mengenai keanekaragaman jenis krustasea di perairan Lombok serta, penelitian kelomang dari Filipina masih berlanjut sejak 2004 hingga sekarang.
Ia pun tercatat menjadi peneliti tamu di berbagai laboratorium di berbagai museum sejarah alam seperti (Lee Kong Chian Natural History Museum-NUS); Jepang (National Science Museum, Tokyo; Natural History Museum and Institute, Chiba); Perancis (Museum National d’Histoire Naturelle, Paris); dan Amerika Serikat (National Museum of Natural History, Smithsonian Institution, Washington DC).
Terlibat dalam berbagai ekspedisi internasional seperti “Kumejima” di Okinawa, Jepang, CMBS (Comprehensive Marine Biodiversity Survey) di Singapura, 2012-dan 2013, dan SJADES (South Java Deep Sea) (Indonesia, Singapore) 2018.
Ekspedisi SJADES menjadi momentum sejarah karena pertama kalinya sebuah riset eksplorasi laut dalam dipimpin oleh peneliti dari Singapura Prof. Peter Ng dan Indonesia Prof. Dwi Listyo Rahayu.
Pencapaian tersebut seakan mengabulkan impian dia sebelumnya “Kami bermimpi kapan ekspedisi dilakukan di daerah kita Southeast Asia dengan leading orang Indonesia atau orang Singapore,” kenangnya.
Tidak hanya ekspedisi, dirinya juga berpartisipasi pada berbagai gelaran ilmiah seperti workshop dan seminar serta menjadi editor untuk majalah atau prosiding.
Penggemar novel detektif yang pernah bercita-cita menjadi pengacara ini sudah menerima berbagai penghargaan atas kontribusinya di bidang riset. Diantaranya Satyalancana Karya Satya 10, 20 dan 30 tahun, Satyalancana Wira Karya, serta anugerah LIPI Sarwono Award XIX.
Pemberian LIPI Sarwono Award bertujuan untuk memberikan pengakuan kepada tokoh, ilmuwan serta pakar di Indonesia yang mengabdikan diri dan pemikirannya dalam memajukan ilmu pengetahuan di Indonesia.
“Saya merasa terhormat karena terpilih sebagai penerima LIPI Sarwono Award XIX. Hal ini menunjukkan bahwa bidang taksonomi memperoleh perhatian dari pemerintah. Dari pemberian penghargaan ini, saya berharap akan ada peneliti muda untuk meneruskan dan menekuni bidang tersebut,” katanya.
Yoyo pun mengajak kita semua untuk menjaga lingkungan sesuai kemampuan masing-masing. Sehingga, keberlanjutan sumber daya laut sebagai sumber kehidupan di masa mendatang tetap terjaga. “Biodiversitas harus kita jaga, karena dalam waktu bersamaan kita dapat mempelajari bagaimana memanfaatkannya sesuai kebutuhan manusia,” katanya. ***