Dodi Nandika

Merayap Memaknai Rayap

Rayap, hampir semua orang di wilayah tropika dan sebagian subtropika mengenalnya. Serangga ini telah hadir di muka bumi lebih dari 200 juta tahun silam, jauh lebih tua dari kehadiran manusia.

Peranannya di ekosistem terestial juga sangat penting, sebagai pengurai bahan organik (decomposer). Tanpa rayap dan jamur pelapuk, barangkali bumi sudah tertimbun sampah organik. Namun, sangatlah langka orang yang tertarik menelisik kehidupan serangga kecil mirip semut yang “antagonistis” ini.

Ya, bisa dikatakan antagonistis, karena disamping bermanfaat bagi alam, harus diakui bahwa sebagian kecil dari bangsa rayap dikenal sebagai perusak kayu yang sangat merugikan. Bahkan populasi rayap justru akan terus bertambah seiring dengan konversi hutan untuk permukiman, perkebunan, areal pertanian, dan lain-lain.

Akibat perubahan biofisis ekosistem hutan, termasuk langkanya bahan makanan rayap di hutan, kusen pintu, jendela, sampai perabot rumah seringkali jadi sasaran serangan rayap yang makin membesar. Ketika rayap meluas, penelitinya malah semakin langka.

Salah seorang yang langka itu adalah Dodi Nandika. Pria kelahiran Rangkasbitung, Banten itu memilih jalan hidupnya sebagai pembelajar dan peneliti rayap. Sejak lebih dari 40 tahun lalu, dia konsisten melakukan penelitian tentang rayap di almamater yang dicintainya, IPB University.

”Ketika itu tahun 1975, menjelang kelulusan dari IPB, hampir tidak ada orang yang tertarik meneliti rayap,” kenang Dodi, yang kini dikenal sebagai profesor ahli rayap.

Tak sampai disana, ia juga giat mengembangkan teknologi antirayap, terutama untuk melindungi bangunan bernilai sejarah seperti museum yang menyimpan berbagai benda koleksi bernilai historis tinggi.

Meski sudah puluhan tahun belajar rayap dan mendapatkan pengakuan internasional untuk pengetahuannya mengenai rayap di Indonesia, Dodi berulang kali selalu mengatakan ia masih terus belajar.

Perkenalan pertamanya dengan rayap telah membuat ia terkagum-kagum. Serangga kecil ini memang lain dari yang lain. ”Bayangkan saja tubuhnya lunak, matanya buta, gerakannya lamban, kemampuan terbangnya pun rendah, tetapi daya serangnya sangat dahsyat dan kerusakan yang ditimbulkan luar biasa,” katanya bersemangat.

Pergelutannya dengan rayap dimulai pada tahun terakhir kuliahnya, saat ayah Dodi pensiun. Padahal kampus yang saat itu masih dikenal dengan nama Instut Pertanian Bogor (IPB) mensyaratkan mahasiswanya membuat penelitian untuk lulus S1. Beasiswa Supersemar yang diterimanya saat itu tidak mencukupi untuk menutup biaya penelitian.

Setelah mencari informasi kiri-kanan, ia menemui dosennya, Prof. Rudi Tarumingkeng. “Prof Tarumingkeng mengatakan, bila saya mau meneliti rayap bisa diikutkan dengan penelitian beliau,” kata suami dari Mimien Susiani dan ayah dari Citra Lestari, Adinda Nayunda, dan Syifa Hanza Humaira itu.

Karena tidak punya banyak pilihan, Dodi setuju. Mulailah ia berburu makhluk kecil lemah itu ke Gunung Walad yang merupakan hutan penelitian di bawah IPB. Ia juga mengamati tingkah laku rayap di kampus IPB University Darmaga.

”Lama-lama saya menemukan rayap itu menyenangkan. Biarpun kecil dan lemah, rayap bisa merusak banyak hal,” kata Dodi.

Bagi Dodi, rayap sebenarnya makhluk yang membantu mengurai dan menghancurkan bahan-bahan yang sudah mati. Misalnya tunggul bekas tebangan kayu, ranting-ranting dan daun-daun yang jatuh.

Dengan kemampuannya, bahan-bahan itu kemudian dirombak kembali untuk kesuburan tanah. Masalahnya menjadi lain ketika habitat rayap mulai berkurang atau bahkan dirampas.

Dari waktu ke waktu, ia memang terus merayap dan konsisten melakukan penelitian tentang rayap. “Saya lulus S1 tentang rayap, S2 juga tentang rayap, bahkan doktor juga tentang rayap,” katanya.

Sebelum menjadi Guru Besar IPB University, ia bekerja sebagai staf pengajar IPB sejak tahun 1980, kemudian dipercaya menjadi Asisten Direktur Administrasi, Pusat Antar Universitas (PAU) Ilmu Hayati IPB (1988-1992); Asisten Direktur Program, PAU Ilmu Hayat IPB (1992-1998); Direktur/Kepala Pusat Studi Ilmu Hayat IPB (1999-2002); Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Program Pascasarjana IPB (2000-2002); dan Direktur Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional (2002-2004).

Pada Mei 2004, Dodi diangkat menjadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional dan menjadi anggota The International Research Group on Wood Preservation (IRG). Tak lama, ia dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional sampai dengan Juli 2011.

Buku karyanya yang telah diterbitkan antara lain Deteriorasi Kayu oleh Faktor Biologis (1990); Kayu dan Pengawetan Kayu (1998); Rayap: Biologi dan Pengendaliannya (2003); Hutan Bagi Ketahanan Nasional (2005), serta Universitas, Riset dan Daya Saing Bangsa (2007).

Sesuai dengan minat penelitiannya di bidang patologi bangunan dan pengendalian rayap sejak pertengahan tahun 1980-an itu, ia lalu mendirikan “laboratorium rayap” di almamaternya.

Sampai saat ini laboratorium tersebut telah menjadi rujukan berbagai pihak, termasuk para peneliti dalam negeri maupun luar negeri, dalam pengembangan dan pengujian teknologi pengendalian rayap. Ia juga terlibat dalam penyusunan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang pengendalian rayap pada bangunan gedung.

”Saya sudah belajar tentang rayap puluhan tahun, tetapi baru kira-kira beberapa tahun lalu saya tahu rayap disebut dalam Al Quran dan Injil,” kata Dodi lagi.

Buat Dodi, itu artinya ia harus terus belajar tentang makhluk kecil, lemah dan buta yang bisa menimbulkan kerusakan berskala besar.

Namun yang paling hebat dari rayap adalah kesadaran akan pentingnya persatuan dan kerja sama, serta kemauan bekerja keras untuk kelangsungan hidup koloninya. Tampaknya kita memang harus belajar dari sang rayap. 

Tinggalkan Komentar