Di Balik Layar Nobel Perdamaian
Profesor Meteorologi Hutan dari IPB University, Daniel Murdiyarso mendapatkan gelar doktor kehormatan (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Helsinki, Finlandia pada 17 Juni 2022 lalu.
Dedikasi dan riset selama puluhan tahun di bidang ekosistem, lahan gambut dan perubahan iklim membuahkan hasil yang manis.
Momen membahagiakan dirasakan Daniel Murdiyarso, Guru Besar IPB University dari Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University saat menerima gelar kehormatan yang diberikan kepada individu yang terpilih dalam sebuah upacara penganugerahan.
Tahun 2022 ini, terpilih 30 ilmuwan dan tokoh masyarakat dari berbagai belahan dunia untuk menerima gelar kehormatan dari universitas tertua di Finlandia itu. Daniel merupakan satu-satunya ilmuwan Indonesia dan yang pertama menerima gelar kehormatan tersebut.
Secara tradisi, gelar doktor honoris causa adalah penghargaan tertinggi dari Universitas Helsinki, Finlandia. “Saya sangat berterima kasih atas gelar Doctor Honoris Causa yang diberikan oleh University of Helsinki,” ujar Daniel.
Ia bertutur, prestasi yang diraihnya tak lepas dari dukungan dan kerjasama rekan-rekan setimnya di CIFOR dan IPB University. Termasuk mahasiswa dalam melakukan penelitian di bidang perubahan penggunaan lahan, siklus biogeokimia, serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
“Gelar kehormatan ini memotivasi saya untuk terus aktif melakukan penelitian sehingga dapat membawa perubahan yang lebih baik bagi kehidupan kita,” ujarnya.
Prof. Daniel adalah Guru Besar di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University yang juga menjabat sebagai peneliti senior Center for International Forestry Research (CIFOR). Ia menduduki posisi sebagai peneliti utama untuk perubahan iklim dalam pertukaran pengetahuan lahan gambut di CIFOR selama 15 tahun terakhir.
“University of Helsinki dan IPB University harus memimpin di bidang yang terkait dengan masa depan planet bumi dan generasi muda. IPB University bisa berkontribusi dengan berbagai kelebihannya dan flagship isu-isu daerah tropis. Paling tidak itu harapan saya untuk almamater,” kata Prof Daniel.
Daniel Murdiyarso lahir di Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. pada 10 September 1955. Dikenal sebagai ilmuwan Indonesia yang banyak mencurahkan perhatiannya dalam pendidikan dan penelitian di bidang emisi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan iklim dalam kaitannya dengan alih-guna lahan, khususnya akibat deforestasi yang diikuti oleh pengembangan lahan pertanian.
Daniel memperoleh gelar pertama di bidang Kehutanan dari IPB. Pada 1985, dia menerima gelar PhD dari Departemen Meteorologi Universitas Reading, Inggris. Selama dua dekade terakhir, dia telah menerbitkan lebih dari 100 karya penelitian dengan tema seputar perubahan tata guna lahan, siklus biogeokimia, serta adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Pada tahun 2000, Daniel pernah menjabat sebagai Deputi Kementerian Lingkungan Hidup.
Walau saat ini dikenal sebagai peneliti, tapi ternyata dirinya juga seorang dosen agama. Permintaan mengajar sebagai dosen agama itu muncul saat dirinya kembali ke kampus pada 1985. Permintaan itu datang dari Rektor IPB karena sang rektor ingin yang mengajar agama di IPB ialah orang dari IPB sendiri.
“Saya sedikit dari dosen Kristen di IPB, waktu kembali pada 1985 saya diminta mengajar sama rektor karena rektor ingin pelajaran agama diajar orang IPB sendiri, jadi saya training-nya kehutanan dan metereologi, tapi mengajar agama. Jadi, saya harus autodidak belajar sendiri bagaimana menyiapkan materi itu,” jelad Daniel.
Meskipun dirinya saat ini berprofesi sebagai seorang peneliti, Daniel mengaku dirinya tidak pernah berencana menjadi sebagai seorang peneliti. Bahkan, dirinya menyebut profesi yang ditekuninya saat ini sebagai sebuah ‘kecelakaan’.
Faktanya kini sebagai ilmuwan, ia merupakan salah satu peneliti yang berkontribusi terhadap Nobel Perdamaian 2007 untuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pada 2010, Daniel juga menerima Ahmad Bakrie Award di bidang Sains, Sarwono-LIPI Award 2018 di bidang Teknologi, dan Habibie Prize 2020 di bidang Teknologi.
“Karena saya lahir dan dibesarkan di tempat yang banyak kayunya di Cepu, Blora, jadi orangtua saya berharap hidup saya bisa lebih baik. Jadi, kayu itu asosiasinya kemakmuran. Tapi, waktu saya lulus, saya malah tidak siap kerja, saya tidak percaya diri di mana saya melihat masuk ke dunia yang tidak bersahabat juga, di swasta, penebangan, teman-teman saya ada yang sukses di bidang itu,” jelasnya.
Melihat itu, membuat Daniel memutuskan kembali ke kampus dan melanjutkan studinya hingga ke jenjang S-3 di Inggris. Daniel mengaku, lingkungan yang akademis itu memaksanya berpikir dan meneliti.
“Sebenarnya suatu kontribusi yang besar tidak mesti diawali dengan sebuah gerakan yang besar. Kita mesti memulai prosesnya dari tahap yang sederhana dengan memberi komitmen yang besar. Tidak harus memulai dengan perubahan-perubahan yang besar, mulailah dengan kegiatan yang kecil tapi dengan cinta yang besar,” imbunya.
Gelar Sarjana Kehutanan dan Master Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dari IPB University, diraihnya masing-masing pada 1977 dan 1979, sedang gelar PhD untuk bidang meteorologi dari University of Reading, Inggris pada 1985.
Pengalaman memimpin lembaga internasional yang bergerak di bidang pengembangan kapasitas tentang perubahan lingkungan global, Global Change Impact Center for Southeast Asia (IC-SEA) memberinya kesempatan untuk membuka dan menggiatkan dialog antar-pakar dan pengambil kebijakan mengenai isu tersebut.
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia ini, juga pernah menjadi Penasihat Wetlands International dalam kajian lahan gambut dan perubahan iklim; penasihat Bank Dunia untuk pengembangan BioCarbon Fund dan Forest Carbon Partnership Facility.
Selain menuliskan berbagai monograf, laporan teknis, opini, dan karya untuk peer-reviewed journals, ia juga telah menghasilkan buku, seperti: Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim (2003), CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih (2003), Protokol Tokyo: Implikasinya Bagi Negara Berkembang (2003). Daniel juga menjadi salah satu penerima Achmad Bakrie Award di bidang Sains pada tahun 2010.
Pada 10 Desember 2007 di Balai Kota Oslo, Norwegia mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Albert Arnold Gore Jr alias Al Gore dan Ketua Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, Rajendra Pachauri meraih penghargaan Nobel Perdamaian.
Anugerah prestisius untuk IPCC tidak lepas dari peran Daniel Murdiyarso. Ia punya peran penting, meneliti Assessment Report IV (AR4) 2007 – yang mengarah kepada Nobel. Seperti dimuat situs CIFOR, Daniel melihat Nobel sebagai momentum membangkitkan kepedulian masyarakat terkait isu pemanasan global. Juga menjadi inspirasi bagi orang untuk tak hanya diam, tetapi berbuat sesuatu.
“Pemanasan global memang terjadi sejak zaman purba, secara gradual. Bumi membutuhkan suhu lebih panas agar bisa dihuni mahluk hidup. Permasalahannya, pasca revolusi industri, emisi gas yang dilepaskan ke atmosfer lebih besar dan pemanasan bumi meningkat,” jelasnya.
Daniel juga memiliki hobi yang masih serumpun dengan bidangnya, yaitu berkebun. Baginya, aktivitas berkebun dapat merilis perasaan stres. “Saya punya taman yang menurut saya paling baik karena ditanam dan dirawat sendiri, saya potong rumput sendiri, saya suka rumput yang rapi dan itu bisa merilis stres dan menyehatkan secara kesehatan,” pungkas Daniel. ***