SUDAH puluhan tahun Kamir Raziudin Barata bergelut dengan teknologi lubang resapan biopori.
Kerja keras sejak 1976, baru mendapat ganjaran pada 2015 melalui piala Kalpataru yang diterima langsung ke tangannya. Meski begitu, teknologi temuannya ini pernah dibuat massal pada 2007.
Penghargaan Kalpataru kategori Pembina Lingkungan Hidup 2015 diserahkan kepada Kamir oleh Presiden Joko Widodo di halaman belakang Istana Bogor pada 5 Juni 2015, bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2015 bertema "Mimpi dan Aksi Bersama untuk Keberlanjutan Kehidupan di Bumi".
Kamir sebenarnya bukan berharap meraih Kalpataru. Harapannya hanyalah agar masyarakat mendapat manfaat dari teknologi lubang resapan biopori.
"Sebenarnya bukan harapan mendapatkan ini, tetapi masyarakat mendapatkan manfaat biopori. Soalnya sayang sekali jika teknologi yang diteliti lama tidak dimanfaatkan masyarakat," tuturnya.
Kamir mengembangkan teknologi pelestarian lingkungan hidup dengan metode lubang resapan biopori sejak menjadi dosen di Fakultas Pertanian IPB University.
"Saya mulai sejak punya mahasiswa pada 1976. Tetapi baru disebarkan secara massal pada 2007," kata pria kelahiran Cirebon pada 12 Desember 1948 ini.
Dosen IPB yang pensiun pada 2014 ini mencetuskan, lubang resapan biopori (LRB) untuk menciptakan teknologi sederhana yang dapat berperan aktif dalam pelestarian lingkungan.
LRB berfungsi untuk meresapkan air ke dalam tanah, sekaligus penampung sampah organik dan melestarikan fauna tanah.
Bentuknya merupakan lubang silindris pada permukaan tanah yang diameternya hanya 10 sentimeter dengan kedalaman 1 meter.
Ukuran yang kecil dibuat untuk mengoptimalkan penampang vertikal tanah sehingga rumah tangga dengan luas halaman yang sempit pun bisa mengaplikasikan LRB di rumah mereka.
Sebagai penampung sampah organik, lanjutnya, rumah tangga dibiasakan memilah sampah. Sampah nonorganik nantinya dapat dimanfaatkan untuk diberikan kepada pemulung.
Apabila diterapkan secara masif, teknologi biopori ini diharapkan dapat mengurangi risiko banjir. Minimal, mengurangi genangan dan menjadi tempat mengikat karbon dioksida.
Sejak diperkenalkan, gerakan LRB telah bergulir secara sporadis di tengah masyarakat.
Baru pada 2007, tepatnya pada peringatan Hari Bumi yang jatuh pada 22 Maret, teknologi yang awalnya diterapkan di pekarangan rumahnya ini mulai diadopsi secara masal oleh masyarakat, terutama Bogor.
"Sekarang Bogor dari bawah masyarakatnya tanpa bantuan pemerintah itu melakukan gerakan 5 juta biopori. Saya selalu tanya, katanya jumlahnya sekarang hampir 1 juta LRB," tutur Kamir.
Ahli ilmu tanah ini berharap setiap orang dan setiap rumah tangga dapat mengaplikasikan LRB di rumah masing-masing. Pasalnya, setiap orang memiliki sampah rumah tangga dan terkena paparan hujan.
Dengan pemanfaatan lahan pekarangan rumah, tidak ada alasan lagi seseorang tidak menerapkan LRB lantaran tidak mendapatkan izin. Tujuannya, supaya pemberdayaan masyarakat untuk lingkungan itu terwujud.
Tak hanya di Indonesia, teknologi lubang resapan biopori ini juga mulai dilirik oleh negara lain.
Diantaranya teknologi berkembang dan diperkenalkan melalui 18 mahasiswa itu berasal dari Eropa dan Asia, di antaranya Malaysia, Cina Vietnam, Belanda, Portugal dan Belanda dalam kegiatan AIESEC di Surabaya pada 2017.
Selain itu, skitar 30 orang guru dan sejumlah komunitas dari Malaysia peserta anggota Local Agenda 21 juga belajar langsung mengenai biopori dari pencipta teknologi tersebut, Ir Kamir R Brata, di Kampus IPB Dramaga pada 2013.
Teknologi domestik ini memang diharapkan dapat menyebar sehingga pelestarian lingkungan menjadi gerakan masif.*