Anjar Budi Susetyowati

Dewi Perdamaian Way Kambas

PEREBUTAN ruang hidup antara gajah dan manusia terjadi di Lampung. Gajah dianggap satwa perusak tanaman, padahal manusia yang merusak jalur jelajah gajah.

Kelompok gajah liar ini terusir dari jalur jelajahnya yang berubah menjadi kebun. Akibatnya gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) sering keluar hutan dan merusak tanaman petani hingga menimbulkan keresahan bagi warga desa penyangga yang menjadi korban amukan gajah liar itu.

Di tengah konflik itulah drh Anjar Budi Susetyowati menetapkan hati dan berdedikasi untuk meluruskan perdamaian kasus koflik gajah dengan manusia.

Saat itu Anjar adalah pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lampung Timur. Namun, hatinya tergerak bukan hanya semata tugas dan fungsinya sebagai aparatur negara.

Perempuan kelahiran Way Kambas pada 1962 ini, merasa perlu peduli karena akibat konflik ini tidak hanya menimbulkan kerugian materil berupa tanaman yang rusak, namun juga hingga mengakibatkan kematian seorang petani.

Rangkaian peristiwa konflik antara gajah dan manusia itu telah mengoyak sisi kemanusiaannya.

Saat itu, masyarakat mendatangi Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) dan menuntut pertanggungjawaban instansi tersebut karena membiarkan gajah dari taman nasional masuk ke perkebunan warga. Mereka juga meminta balai menyantuni keluarga korban.

Akan tetapi, tak sepeser pun dana santunan mengalir untuk keluarga korban. Hal itu semakin memicu kemarahan warga. Bahkan mereka hampir membakar sejumlah kendaraan dinas pejabat setempat.

Anjar, yang saat itu merupakan Kepala Tata Usaha Balai TNWK. Lulusan Fakultas Kedokteran Hewan IPB University 1986 ini bertugas disana sejak tahun 1990 hingga tahun 2000. Adapun kakaknya bekerja sebagai staf honorer di Balai TN Way Kambas.

Dalam keadaan panik, ibu empat anak ini dengan penuh keberanian menemui mereka. Ia menjelaskan bahwa Balai TNWK memang belum ada anggaran santunan. Namun, Anjar berjanji memberikan bantuan untuk keluarga korban.

Usai meredam kerusuhan massa, janji tersebut dia tepati, dengan memberikan beasiswa pendidikan selama tiga tahun bagi anak bungsu korban.

Sejak peristiwa itulah empati Anjar kepada masyarakat desa penyangga justru bertumbuh kuat.

Ketika pemerintah akan memindahkannya bertugas di Balai TN Ujung Kulon, Anjar menolak. Ia memilih dipindah ke Dinas Perkebunan Lampung Timur, dengan alasan bisa lebih mendampingi masyarakat.

Kedekatannya dengan masyarakat Lampung Timur memang sejak lama terjalin. Terlebih ia cukup lama menjadi dokter hewan di Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas sejak 1987 sebelum akhirnya bertugas di Balai TNWK. Masyarakat bahkan merasa dirangkul oleh Anjar.

Keputusan Anjar memang tepat. Sejak menjadi pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan Lampung Timur, banyak program daerah yang selalu melibatkan kepentingan masyarakat pada 22 desa di tepian taman nasional itu. Mereka menggantungkan penghidupannya pada pertanian dan perkebunan.

Seluruh program ini terlaksana setelah Anjar menggerakkan pembentukan tim terpadu penanggulangan konflik gajah dan manusia. Anjar ibarat Dewi Perdamaian di jalur konflik manusia dan gajah di Way Kambas.

"Selama itu tak ada komunikasi yang terpadu untuk menyelesaikan masalah sehingga tidak pernah ada solusinya.Untuk itulah tim terpadu dibentuk," katanya.

Menurut Anjar, saat itu tidak ada tim terpadu yang membahas program untuk membantu perlindungan keamanan masyarakat di desa penyangga. Saat urusan sektor-sektor kehutanan diambil provinsi, leading sektor di kabupaten tidak ada.

"Saat itu, kami mencari siapa yang bisa menjadi tempat mengadu. Karena sudah terjadi sepanjang 30-40 tahun ada potensi konflik. Niatan kami, supaya tidak ada lagi korban," tegas Anjar, bicara soal pembentukan Tim Terpadu.

Tim ini bergerak untuk mendekati masyarakat serta menggali berbagai persoalan dan kebutuhan dalam upaya menekan konflik mereka dengan gajah. Seluruh masukan direkapitulasi pada tahun 2005.

Seiring dengan itu, pihaknya juga memfasilitasi pembentukan Forum Rembuk Petani yang menjadi bentuk kemandirian petani dalam menangani tiap persoalan di sekitar desa penyangga.

"Semangat forum waktu itu, yang terpenting kita bisa berkumpul dan mencurahkan keprihatinan masing-masing. Selanjutnya, itu menjadi wadah di mana petani dapat memiliki posisi tawar yang kuat sehingga berbagai aspirasi bisa menghasilkan realisasi," kata istri dari Abdullah Yusuf ini.

Ibu empat anak ini rutin menemui petani minimal sebulan sekali, dan memperoleh masukan mengenai apa yang perlu dilakukan pemerintah kabupaten.

Melalui tim terpadu, beragam bentuk bantuan mengalir, mulai dari bibit gratis ikan, kambing, padi, karet, hingga jagung.

Bahkan ada pula bantuan listrik melalui 100 pembangkit listrik tenaga surya, bantuan pembangunan 60-an gubuk pantau beserta 220 belor (senter besar) untuk mempermudah deteksi keberadaan gajah.

Selain bantuan fisik, pihaknya juga kerap mendatangkan ahli untuk melatih warga menghadapi gajah atau menyelamatkan diri dari gajah.

Pihaknya bahkan secara khusus memberi bantuan uang lelah bagi warga yang meronda dan menghalau gajah yang masuk kebun dan sawah.

Penerima penghargaan HA IPB AWARDS 2022 juga berharap menyediakan mitra-mitra usaha bagi para petani di desa penyangga tersebut.

Meski begitu, usaha kecil dan menengah telah berkembang di desa-desa setempat. Salah satunya, budi daya tanaman tembakau yang telah menghasilkan. Selain itu, budi daya tanaman sayur, palawija, dan budi daya ikan.

Dari sejumlah realisasi program yang telah berjalan, Anjar selalu berpegang pada satu pertanyaan "Jika pemerintah ingin masyarakat peduli pada TN Way Kambas, apa yang bisa pemerintah berikan kepada masyarakat?"

Masyarakat sebenarnya menginginkan kehidupan yang senantiasa berdamai dengan gajah, tetapi mereka juga tidak ingin sawah dan kebunnya hancur karena masuknya gajah dari dalam taman nasional.

"Gajah merupakan bagian dari Bumi kita juga. Kita dapat hidup berdampingan dengan gajah"

Bagi masyarakat Way Kambas, Lampung Timur, cuplikan kalimat itu memotivasi diri untuk hidup berdamai dengan gajah sumatera.

Anjar juga mengamini jika gajah yang merupakan icon provinsi Lampung tersebut tidak boleh disakiti, namun, ia juga meminta agar warga diberikan perlindungan dan rasa aman. *

Tinggalkan Komentar