Aglaonema, Ketika Tanaman Hias Menjadi Emas


SRI REJEKI. Begitu pada awalnya nama tanaman hias ini disebut. Dilihat dari silsilahnya, tanaman yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan aglaonema ini merupakan tanaman yang masuk dalam famili Araceae dengan filum Plantae. 

Selain tenar dengan nama aglaonema, tanaman hias daun ini juga mempunyai nama lain yaitu Chinese Evergreen.

Tanaman ini berasal dari negara Asia, seperti Cina bagian selatan, Indonesia, Malaysia, Birma, Thailand, dan Philipina.

Di habitat aslinya, tanaman ini hidup di hutan dengan pencahayaan yang terbatas. Karenanya sangat cocok jika dijadikan tanaman hias di lingkungan yang teduh.

Sebagai negara tropis, Indonesia memang memiliki kekayaan florikultura yang luar biasa. Wilayah Indonesia yang dipisahkan oleh laut, bahkan menjadikan florikulturanya lebih beragam.

Sebab itulah, pemuliaan florikultura diperlukan untuk menciptakan varietas tanaman hias yang lebih baik dan beragam.

Genus Aglaonema yang jumlahnya sekitar 30 spesies, kini sudah banyak memiliki varietas hasil persilangan dari tanaman ini.

Adalah Gregori Garnadi Hambali atau yang biasa disapa Greg Hambali merupakan nama yang melekat di kalangan komunitas penggemar tanaman hias khususnya Aglaonema. Di tangannya, tanaman hias ini seolah berubah menjadi emas.

Alumni jurusan Biologi Pertanian di IPB University yang lulus pada 1973 silam ini, memang pantas diberi julukan sebagai Bapak Aglaonema Indonesia.

Greg bertutur bahwa tanaman-tanaman hias ini memang perlu untuk disilangkan. "Melalui program persilangan, dapat dihasilkan tanaman-tanaman baru yang mengejutkan," ungkapnya.

Baginya, program persilangan juga tidak boleh berhenti di tahap persilangan pertama. Persilangan harus selalu diusahakan untuk menghasilkan generasi kedua, karena biasanya seluruh kemungkinan hasil persilangan akan muncul pada generasi kedua.

Inovasi ini dilakukan untuk memberikan nilai tambah pada tanaman dan meningkatkan daya saingnya di pasaran.

Begitulah akhirnya, aglaonema hibrida kemudian dikembangkan untuk menghasilkan penampilan menarik dengan bermacam-macam warna, bentuk, dan ukuran daun sehingga jauh berbeda dari spesies asalnya.

Greg mengungkapkan, sebelum melakukan pemuliaan, harus mengenali dulu jenis tumbuhan penyusun flora Nusantara untuk pemuliaan terlebih dulu.

Itu sebabnya Greg melihat beberapa contoh tanaman hias yang menjadi tumbuhan penyusun flora Nusantara untuk pemuliaan adalah Aglaonema rotundum dan Dracaena jiewhoei.

Aglaonema rotundum merupakan tumbuhan penyusun yang sangat penting digunakan untuk pemuliaan aglaonema di daerah manapun di dunia karena berperan dalam menghadirkan warna merah pada varietas aglaonema baru. Aglaonema rotundum ini endemik di Sumatera.

Sementara itu, Dracaena jiewhoei yang juga endemik di Sumatera, merupakan tumbuhan penyusun yang menghasilkan bintik-bintik putih menyebar pada generasi kedua Dracaena.

“Aglaonema rotundum ini sangat penting untuk pemuliaan aglaonema di manapun di dunia karena dia lah yang memberikan warna merah pada aglaonema-aglaonema saat ini,” jelas Greg.

Pria kelahiran Sukabumi ini populer atas karyanya yang berhasil menyilangkan bejibun tumbuhan. Namun karyanya yang paling melekat memang berkat penyilangan Aglaonema.

Menurut Greg pelafalan Aglonema yang tepat adalah Aglaonema yang berasal dari kata Aglao, yaitu daun yang mengkilap dan nemo yang berarti benang.

Karya Greg yang fantastis adalah Agalonema berjenis Harlequin yang dijual dengan harga Rp660 juta dalam satu pot dalam sebuah pelelangan pada 2006 silam.

Selain Harlequin, Greg berhasil melahirkan Pride of Sumatera dan Lotus Delight dan Golden Hope.

Greg bercerita ketertarikannya pada dunia botani pertama kali sudah dimulai sejak ia Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan menjadi 'penghulu' bagi pohon pepaya yang tak kunjung berbuah. Keberhasilan mencomblangi pepaya itu membuat dirinya semakin tertarik bergelut di bidang pemuliaan tanaman.

"Saat masih di SMP saya pertama kali mengawinkansilangkan pohon pepaya. Pada waktu itu, saya lihat ada pohon pepaya yang tidak kunjung berbuah karena pada pohon tersebut ternyata tidak ada jantannya. Jadi, saya tempelkan serbuk dari pohon pepaya lain di pohon pepaya betina tadi sehingga akhirnya mencullah buah. Kemudian saya juga tertarik untuk menyilangkan tanaman-tanaman yang lain," cerita Greg.

Karena ketertarikan itu, ia memilih jurusan Biologi Pertanian di IPB University dan mulai kuliah pada 1969 silam. Saat itu ia merupakan salah satu dari dua mahasiswa di jurusan tersebut.

Greg bercerita, ketika baru saja ia melepas status pelajar SMA menjadi mahasiswa, ia sudah direkrut oleh Dr. Mien A. Rifai, Kepala Herbarium Bogor yang merupakan bagian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang saat itu masih bernama Lembaga Biologi Nasional.

Bermodalkan kemampuan botani tanpa gelar sarjana, ia bertugas untuk membantu identifikasi tanaman dan mencari penamaan ilmiah tanaman di sekitarnya. Ia mengambil pekerjaan tersebut karena bersifat paruh waktu, sehingga ia bisa tetap menjalankan studinya di IPB University.

Greg mengatakan pekerjaannya di LIPI menjadi fondasi awal dirinya menekuni bidang persilangan. Sebab di LIPI, ia harus mengetahui latar belakang setiap tanaman yang hendak diteliti.

Ujungnya pengetahuan ini membuat dirinya bisa mengetahui kekerabatan antar tanaman. Pengetahuan yang penting di dunia persilangan tanaman.

"Di LIPI saya cek literatur dan cek nama ilmiah untuk bantu identifikasi tanaman. Itu jadi basis saya bergerak di bidang persilangan. Dengan itu kita tahu kekerabatan tanaman yang kita tangani," ujar Greg.

Saat mengampu pendidikan di IPB University sembari bekerja di LIPI, Greg kemudian mendapatkan tawaran beasiswa dari British Council untuk melanjutkan studi sebagai Master of Science (MSc) di bidang Conservation and Utilization of Plant Genetic Resources di Universitas Birmingham, Inggris.

Greg menjelaskan, untuk memahami penyilangan awalnya sudah memiliki riset yang fokus ke sistem reproduksi tanaman yang dipengaruhi oleh berbagai agen penyerbukan dan pemencaran biji.

Agen-agen ini membentuk sebuah persilangan alami yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan keanekaragaman tumbuhan saat ini di dunia.

Pada akhirnya atas anjuran Alm. Aryono dari Aditya Nursery, Greg beralih fokus riset ke tanaman-tanaman komersial yang menghasilkan uang. Riset ini berbasis rencana komersil yang pada intinya meriset tanaman yang memiliki manfaat.

"Dari situ Alm Bapak Aryono berkata saya akan punya dana untuk meneliti tanaman-tanaman yang menarik tapi kecil dari sisi manfaat," kata Greg.

Dari situ, ia tertarik dengan bisnis tanaman hias karena tingkat biodiversitasnya sangat tinggi. Aglaonema commutatum tricolor pertama kali ia lihat di pameran tumbuhan pada 1982 akhir di Ancol.

Greg mengatakan dirinya jatuh cinta pada tanaman Aglaonema asal Filipina tersebut yang dipamerkan oleh Ibu Nus Sudiono dari Flora Sari Nursery.

Pada akhirnya, ia melakukan riset dan mengawinkan Aglaonema Commutatum tricolor asal Filipina dengan Aglaonema Rotundum Sumatra. Kemudian lahirlah precursor yang merupakan cikal bakal Pride of Sumatra.

"Aglaonema Commutantum Tricolor dari Filipina saya silangkan dengan Aglaonema Rotundum dari Sumatra. Hasilnya yang dinamai Precursor cantik, tapi hasilnya kurang begitu merah. Setelah disilangkan kembali dengan Aglaonema rotundum sebagai pejantan, lahirlah Pride of Sumatera," tutur Greg.

Silangan Aglaonema yang dirilis pertama kali sekitar 1990-an, bernama aglaonema Pride of Sumatra.

Aglaonema ini menjadi silangan berdaun merah pertama di dunia, selain Aglaonema Red Gold yang dihasilkan Sitiporn Nursery di Thailand. Pride of Sumatra pernah menjadi juara kedua pada kontes tanaman hias dunia yang diadakan di Belanda.

Profesi penghulu tanaman ini tak dihentikan Greg ketika melahirkan Pride of Sumatera. Saat itu ia sendiri sebenarnya belum yakin akan ada silangan lain yang melebihi kecantikan Pride of Sumatra.

Sejak saat itu, Greg mengakui telah mengawinkan Aglaonema sebanyak 10 ribu kali. Namun, hingga saat ini hanya sedikit yang berhasil.

Selain Aglaonema, Greg juga berhasil melahirkan Dracaena JT Stardust, aneka silangan Philodendron, salak, Calathea, dan Cyrtosperma yang masih dalam tahap evaluasi.

Greg mengaku bangga dengan Dracaena JT stardust. Ia mengatakan silangan ini memiliki pola 'debu bintang' di daunnya. Selain itu, ia mengatakan varietas ini merupakan hasil penyilangan Dracaena asli Indonesia, tepatnya dari Sumatra.

"Tanaman hibrida tipe seperti itu tidak ada duanya karena memang unik dan cantik. Selain indah, Dracanea JT Stardust juga lebih mudah diperbanyak, vigor yang lebih bagus dari induknya," tutur Greg.

Bagi Greg, tanaman hias di Indonesia menjadi nilai komersial tinggi karena banyak orang yang mau menggelontorkan banyak uang untuk hobi tanaman hias.

"Harga berapapun semua tergantung pada orang yang tak lagi cari uang untuk hidup cari makan tapi kesenangan dan hobi. Hobi itu tidak murah," kata Greg. *

Tinggalkan Komentar